HUKUM ADAT YURISPUDENSI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Kerangka Pemikiran

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang dilanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.

Penyelesaian hukum waris tidak terpaku dengan hukum waris perdata dan hukum waris islam. Namun apabila keduanya hukum waris tersebut tidak bias memutuskan suatu kasus yang terjadi di Indonesia maka dapat menggunakan hukum adat yang berlaku di wilayah tertentu. Maka dari itu menulis akan memaparkan beberapa kasus hukum waris yang berada di Indonesia dengan hukum waris adat yang berlaku di wilayahnya.

B. Rumusan Masalah

Dalam pembuatan makalah ini adapun rumusan masalah sebagai berikut

1. Bagaimana penyelesaian kasus warisan di tingkat gampong yang berada di aceh?

2. Bagaimana harta peninggalan warisan orang yang beristri dua?

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Hukum Waris

Dalam rangka memahami kaidah-kaidah serta seluk beluk hukum waris, hampir tidak dapat dihindarkan untuk terlebih dahulu memahami beberapa istilah yang lazim dijumpai dan dikenal. Stilahistilah dimaksud tentu saja merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengertian hukum waris itu sendiri. Beberapa istilah tersebut beserta pengertiannya seperti dapat disimak berikut ini:

1. Waris: Istilah ini berarti orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal.

2. Warisan: Berarti harta peninggalan, pusaka, dan surat wasiat.

3. Pewaris: Adalah orang yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat.

4. Ahli waris: Yaitu sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yangberhak menerima harta peninggalan pewaris.

5. Mewarisi: Yaitu mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.

6. Proses pewarisan: Istilah proses pewarisan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yaitu:

a) berarti penerusan atau penunjukan para waris ketika pewaris masih hidup; dan

b) berarti pembagian harta warisan setelah pewaris meninggal.

Berkaitan dengan beberapa istilah tersebut di atas, Hilman Hadikusumah dalam bukunya mengemukakan bahwa “warisan menunjukkan harta kekayaan dari orang yang telah meninggal, yang kemudian disebut pewaris, baik harta itu telah dibagi-bagi atau pun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi”.

Hukum waris menurut para ahli yaitu:

R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan, “Yang dimaksud dengan hukum warisan adalah hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.

Seperti halnya Wirjono Prodjodikoro yang menggunakan istilah "hukum warisan", R. Santoso Pudjosubroto juga memakai istilah serupa di dalam rumusannya, yakni menggunakan istilah "hukum warisan" untuk menyebut "hukum waris". Selanjutnya beliau menguraikan bahwa sengketa pewarisan timbul apabila ada orang yang meninggal, kemudian terdapat harta benda yang ditinggalkan, dan selanjutnya terdapat orang-orang yang berhak menerima harta yang ditinggalkan itu; kemudian lagi tidak ada kesepakatan dalam pembagian harta warisan itu.

B. Ter Haar Bzn dalam bukunya "Azas-azas dan Susunan Hukum Adat" yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebakti Poesponoto memberikan rumusan hukum waris sebagai berikut : "Hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi".

"Hukum waris, adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga".

Suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu walaupun terdapat rumusan dan uraian yang beragam tentang hukum waris, pada umumnya para penulis hukum sependapat bahwa "Hukum waris itu merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli warisnya".

B. Sifat Hukum Waris

Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedangkan system kekeluargaan pada masyarakat Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Berkaitan dengan sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum setidak-tidaknya dikenal tiga macam system keturunan. Untuk mengetahui serta mengelaborasi perihal hukum waris di Indonesia, sudah barang tentu terlebih dahulu perlu diketahui bentuk masyarakat serta sifat-sifat kekeluargaan yang terdapat di Indonesia menurut sistem keturunan yang dikenal itu.

Ketiga sistem keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaannya yang unik serta sudah sedemikian populer disebabkan segi-segi perbedaannya amat mencolok, selanjutnya dapat disimak dalam paparan singkat berikut ini sekaligus pula dengan contoh lokasi geografis lingkungan adatnya.

1. Sistem patrilineal / sifat kebapaan, Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakatmasyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor, dan Bali.

2. Sistem matrilineal/ sifat keibuan, Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Kekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu Minangkabau.

3. Sistem bilateral atau parental / sifat kebapak-ibuan, Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah. Sistem ini di Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.

Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam system keturunan dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, kiranya semakin jelas jelas menunjukkan bahwa sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Kondisi tersebut sudah tentu sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian saksama itulah akan dapat dipahami betapa pluralisme hukum yang menghiasi bumi Indonesia ini masih sangat tampak dan akan terus ada bahkan mungkin sampai akhir zaman, terutama dalam sistem hukum warisnya.

C. Pelaksanaan Pembagian Harta Warisan

1. Tata cara membagi harta warisan

Pelaksanaan pembagian warisan tergantung pada hubungan dan sikap para ahli waris. Pembagian warisan mungkin terjadi dalam suasana tanpa sengketa atau sebaliknya dalam suasana persengketaan di antara para ahli waris. Dalam suasana tanpa persengketaan, suasana persaudaraan dengan penuh kesepakatan, pelaksanaan pembagian waris dilakukan dengan cara :

a. Musyawarah antara sesama ahli waris/keluarga (Leuwiliang, Kabupaten Bandung, Cianjur, Ciamis, Indramayu, Karawang, Pandeglang); atau

b. Musyawarah antara sesama ahli waris dengan disaksikan oleh sesepuh desa (Leuwiliang, Kabupaten Bandung, Banjar, Kawali, Cikoneng, Pandeglang, Indramayu).

Di Karawang dan Indramayu musyawarah antara ahli waris dengan disaksikan pamong desa ditambah kyai. Di desa Pelembonsari (Kecamatan Karawang) saksinya adalah "kokolot". Di Desa Adiarsa, Plawad, Karawang Wetan, Tunggakjati (Karawang) saksinya adalah "kokolot lembur". Sebaliknya, apabila suasana persengketaan mengiringi pembagian itu, maka pelaksanaan pembagian dilakukan dengan cara:

a. Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan oleh sesepuh desa (Leuwiliang); atau

b. Musyawarah sesama ahli waris dengan disaksikan oleh pamong desa (Cisarua, Jasinga, Depok, Indramayu, Karawang, Pandeglang), Di daerah Cisarua, Depok, Cikalong Kulon, Indramayu, Karawang, apabila terjadi sengketa waris, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan kebiasaan (hukum adat) dan/atau hukum Islam. Di Jatibarang, Bulak, Palangsari (Kecamatan Jatibarang-Indramayu) oleh sesepuh desa biasanya ditawarkan kepada yang bersangkutan apakah akan diselesaikan berdasarkan Hukum Adat atau Hukum Islam. Di Juntinyuat, Juntikebon, Dadap (Indramayu), yang dipakai sebagai pegangan dalam penyelesaian waris ini adalah Hukum Islam.

c. Di Kabupaten Bandung, Pandeglang, Karawang, Indramayu, selain bantuan dari pamong desa, juga dimintakan bantuan ulama. Apabila usaha-usaha permusyawaratan ini gagal, baru diajukan ke pengadilan. Sepanjang mengenai tanah/sawah, akan selalu menghubungi desa untuk keperluan balik nama. Di daerah Banjar, Kawali, Cikoneng, dan Cianjur selain bantuan pamong desa, permusyawaratan tersebut mungkin dipimpin seorang sesepuh desa.

2. Saat Pembagian Warisan

Tidak ada kepastian waktu mengenai harta warisan harus dibagikan. Di daerah Cianjur, Kabupaten Bandung, Banjar, Ciamis, Pandeglang, Indramayu, terdapat kebiasaan. bahwa harta warisan tidak akan dibagikan selama anak/anak-anak pewaris belum dewasa. Di Menes (Kecamatan Menes Pandeglang), dalam hal ahli waris masih belum dewasa dapat saja dilaksanakan pembagian harta warisan ini karena ada wali atas anak belum dewasa tersebut. Di beberapa daerah, dijumpai praktik, saat pembagian warisan tersebut ditentukan berdasarkan lamanya pewaris meninggal. Di Kabupaten Bandung, Kecamatan Ciamis, Cikoneng, Kawali, Banjar, Indramayu, Karawang, dan Pandeglang pembagian harta warisan biasanya dilakukan pada hari ke 40 (empat puluh) atau hari ke100 (seratus) sejak pewaris meninggal dunia.

3. Besarnya bagian yang diterima ahli waris

a) Anak/anak-anak

(1) Anak Kandung,

Di daerah Kabupaten Bandung, Kecamatan Lohbener, Juntinyuat, Kertasemaya, Jatibarang (Indramayu), Telukjambe, Adiarsa, Telagasari, Ratujaya (Karawang), tidak ada perbedaan antara anak kandung laki-laki dan anak kandung perempuan. Baik anak laki-laki maupun anak perempuan akan menerima jumlah yang sama besar dalam setiap pembagian warisan. Sedangkan di daerah Kabupaten Cianjur, ada perbedaan jumlah yang diterima anak kandung laki-laki dan anak kandung perempuan.

Di Cianjur dan Pandeglang berlaku prinsip satanggungan saaisan antara anak laki-laki dan anak perempuan akan menerima dalam perbandingan 2 : 1. Ketentuan seperti yang terdapat di Cianjur, dijumpai pula di Cikoneng, Kecamatan Indramayu, Jatibarang, Cilamaya, Teluk Buyung. Di daerah Kecamatan Banjar, Ciamis, dan Kawali, terdapat dua kemungkinan, yaitu: setiap anak kandung akan menerima jumlah yang sama, tetapi terdapat juga praktik satanggungan saaisan seperti di Cianjur dan Cikoneng.

Apabila para ahli waris, baik seluruh maupun sebagian dari mereka belum dewasa, dijumpai beberapa praktik, yaitu:

a. Di daerah Kabupaten Bandung dan Banjar, apabila para ahli waris belum dewasa biasanya harta warisan terkumpul pada satu tangan dipegang oleh bibi atau paman atau saudara yang sudah dewasa;

b. Di daerah Ciamis, Cikoneng, dan Kawali, anak/anakanak yang belum dewasa akan menerima haknya pada saat pembagian warisan. Kemudian masing-masing dari mereka memijah kuasanya (paman/ bibi/ nenek).

(2) Anak-anak angkat, tiri, dan anak tidak sah

a) Anak angkat

Di daerah-daerah Kabupaten Bandung, Cianjur, Banjar, Pandeglang, Karawang, Indramayu, dan Ciamis, anak angkat tidak dipandang sebagai ahli waris yang mempunyai hak penuh atas warisan orang tua angkatnya. Anak angkat akan menerima bagian harta peninggalan orang tua angkat sapamere atau saasihna. Di Saruni, Karaton (Kecamatan Pandeglang), anak angkat dianggap sebagai ahli waris jika ditetapkan dengan akta pengadilan negeri. Sedangkan di Cianjur seorang anak angkat yang ditetapkan dengan akta notaris, baru dianggap sebagai ahli waris. Baik di daerah Cianjur maupun di daerah Kabupaten Bandung, demikian pula di daerah Banjar, Ciamis, Kawali, seorang anak angkat tetap merupakan ahli waris dari orang tua kandung.

Oleh karena itu, pengangkatan anak sama sekali tidak memutuskan kedudukanya sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya. Anak angkat di daerah Kawali dan Cikoneng, mempunyai kedudukan yang berbeda dengan di daerah-daerah tersebut di atas. Di kedua daerah ini, dijumpai ketentuan, bahwa anak angkat akan menerima bagian dari harta peninggalan orang tua angkatnya sama besar dengan anak kandung dari orang-orang tua angkat tersebut. Dalam hal ada wasiat atau hibah, anak angkat akan menerima bagian sesuai dengan bunyi wasiat atau hibah, dengan ketentuan tidak melebihi dari seluruh harta peninggalan (Kawali).

Dalam hubungan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya, terdapat beberapa yurisprudensi berikut ini:52

1) Menurut Hukum Adat Jawa Barat seorang anak angkat (anak kukut) hanya berhak atas harta guna kaya kedua orang tua angkatnya”. (PT. Bandung tanggal 6 Mei 1971 No. 80/Perd/PTB, MA tanggal 30 Oktober 1971, No. 637 K/Sip/1971).

2) “Anak angkat berhak atas barang gono-gini orang tua angkatnya”. (PN. Ciamis tanggal 22 Februari 1968, No.16/1967/Sip/Cms. PT. Bandung tanggal 9 Oktober 1970, No. 252/1969/Perd/PTB, MA tanggal 30 Oktober 1971 No.637 K/Sip/1971).

3) “Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya, yang bukan barang asal atau barang warisan”. (PN Indramayu tanggal 8 September 1969 No. 24/1969/Perd. PT. Bandung tanggal 14 Mei 1970 No.511 /1969/Perd/ PTB).

4) “Apabila baik anak angkat maupun janda telah pernah mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung”. (PT Bandung tanggal 14 Mei 1970, No.215 /1969/Perd. MA tanggal 24 Maret 1971 No. 60 K/Sip/1970).

b) Anak tiri

Sama halnya dengan anak angkat, seorang anak tiri akan menerima bagian dari harta peninggalan orang tua tirinya sapamerena / saasihna (Bandung, Cianjur). Hal yang sama terdapat di daerah Banjar, Ciamis, Cikoneng, dan Kawali. Di Indramayu anak tiri dengan istilahnya “anak kawalon”, hanya mendapat bagian dari gawan orang tua kandungnya. Di Karawang hanya mewaris dari orang tua kandungnya.

c) Anak tidak sah

Di daerah-daerah dalam Kabupaten Bandung, Karawang, Indramayu, anak tidak sah adalah ahli waris ibu kandungnya dan tidak dari bapak pembangkitnya. Tetapi di sini tidak dijumpai penjelasan bagaimanakah kedudukan seorang anak tidak sah tersebut terhadap bapak pembangkitnya, apabila kemudian ibunya menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya. Di daerah Kabupaten Cianjur dalam hal ibu seorang anak tidak sah kemudian menikah secara sah dengan bapak pembangkitnya, maka hak untuk mendapat bagian tergantung kepada kebijaksanaan anak/anak-anak sah (saudara anak tidak sah tersebut).

Tetapi satu pertanyaan perlu dijawab, bagaimanakah seandainya dari perkawinan ibu anak tidak sah tersebut dengan bapak pembangkitnya tidak lahir (tidak ada) anak sah? Di Kecamatan Banjar, Ciamis, Cikoneng, dan Kawali, anak tidak sah tidak mewarisi bersama-sama anak sah, baik bapak pembangkitnya menikah dengan ibunya maupun tidak.

d) Hak Janda / Duda

Dalam lingkungan Kabupaten Cianjur, dengan kekecualian di Desa Cibeber, seorang janda/duda akan menerima bagian sama besar dengan seorang anak. Di desa Cibeber, besarya bagian yang diterima janda/duda adalah _ dari harta peninggalan suami/isteri. Dalam hal tidak ada anak, di Kecamatan Ciranjang semua harta guna kaya jatuh pada janda/duda. Sedangkan mengenai harta asal, akan kembali pada asal harta tersebut. Di daerah-daerah dalam lingkungan Kabupaten Bandung hak seorang janda/duda diatur sebagai berikut;

1) Harta asal Kalau ada anak, seluruh harta asal jatuh kepada anak/anaknya. Kalau tidak ada anak/anak-anaknya, harta asal kembali ke asal. Janda/duda tidak berhak menerima bagian harta asal.

2) Harta bersama Janda/duda berhak mendapat ½ dari harta bersama. Dalam hal harta bersama tidak mencukupi, janda dapat menguasai harta asal suaminya sampai ia menikah lagi atau meninggal. Apakah hak janda untuk menahan harta asal suami berlaku juga untuk duda? (Artinya, apakah duda juga dapat menguasai harta asal isteri?).

Di Kecamatan Banjar, terdapat praktik yang sama seperti di daerah Kabupaten Bandung. Di Banjar, seorang janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Di Ciamis dan Cikoneng, seorang janda/duda akan menerima sapamerena / saasihna. Di Kecamatan Kawali dalam hal ada anak, janda/duda akan menerima 1/8. Sedangkan kalau tidak ada anak, janda/duda berhak atas ½ dari harta bersama. Hal yang sama berlaku juga di Cikoneng. Mengenai harta asal di Kecamatan Banjar, Cikoneng, dan Ciamis akan kembali ke asal. Sedangkan di Kecamatan Kawali, dimungkinkan harta asal tersebut tetap dikuasai janda/duda sampai terjadi perubahan kedudukan janda/duda (menikah lagi) atau meninggal. Di Karawang tidak ada ketentuan mengenai besarnya bagian seorang janda.

Di beberapa tempat, seperti di Telukjambe, Cilamaya. Batujaya, Karawang, Telagasari, besarnya bagian janda sama dengan bagian anak. Di Tegalwaru (Cilamaya) Kuta Pohaci (Telukjambe) bagian janda ialah dari harta warisan, di Telukbuyung (Batujaya) 1/6 (seperenam) atau (seperdelapan).Di Batujaya apabila suami membeli sesuatu barang atas nama si suami, maka barang tersebut akan jatuh pada anak, kalau barang tersebut dibeli atas nama isteri, maka barang tersebut akan jatuh pada janda.

Di Indramayu di Kecamatan Lohbener dan Indramayu harta asal dikuasai oleh janda apabila tidak ada anak. Sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan jatuh pada anak. Di Juntinyuat, Jatibarang, Kecamatan Indramayu harta asal kembali ke asalnya kalau tidak ada anak, sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan jatuh kepada anak. Di desa Keraton (Pandeglang), seorang janda/duda bukan ahli waris. Sedangkan di desa Cilaja (Kecamatan Pandeglang) janda/duda dianggap bukan ahli waris bilamana ada anak laki-laki. Pada semua daerah penelitian terdapat persamaan bahwa lamanya perkawinan tidak berpengaruh atas bagian yang harus diterima janda/ duda. Dalam hubungan dengan hak janda atas harta peninggalan suaminya, dapat dijumpai beberapa yurisprudensi. antara lain.

1) Hak waris janda dan anak “Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Juli 1962 No. 26 K/SIP/1963, barang asal dari peninggalan warisan harus dibagi sama rata antara anak-anak dan janda-janda pewaris". (PN Cianjur tanggal 29 Januari 1971 No. 218 /1969/Perd/PTB).

2) Hak seorang janda atas harta asal suaminya "Menurut yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung seorang janda berhak atas harta asal dari suaminya sebagai nafkah untuk kelangsungan hidupnya dan apabila diadakan pembagian waris, bagian seorang janda setidaktidaknya adalah disamakan dengan bagian seorang anak". (PT Bandung tanggal 6 Mei 1971 No. 80/1970/Perd/PTB.MA tanggal 1 Desember 1971 No. 941 K/Sip/1971).

3) Hak waris janda setengah diberi hibah "Apakah baik anak angkat maupun janda telah pernah mendapat hibah dari pewaris, maka lebih adil apabila bagian janda adalah sama banyaknya dengan bagian anak angkat, jika pewaris tak meninggalkan anak kandung". (PT Bandung tanggal 14 Mei 1970 No. 215/1969/Perd/PTB. MA tanggal 24 Maret 1971 No. 60 K/Sip/1970).

4) Hak waris janda atas harta campur kaya "Barang-barang campur kaya hanya diwaris oleh janda dan anak si pewaris". (PN Indramayu tanggal 15 September 1969 No.23/1969/Pdt, PT Bandung tanggal 29 Januari 1971 No. 218/1969/Perd/PTB).

Dari berbagai putusan Pengadilan di atas, selain menampakkan adanya keserasian antara perkembangan hukum adat dalam proses pewarisan dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat, dirasa masih perlu untuk memperoleh ketegasan atas hal-hal berikut :

1) Hak Janda atas harta campur kaya

Harta campur kaya atau gono-gini adalah harta bersama atau milik bersama (community property). Jadi, seorang isteri atau suami merupakan pemilik dari sebagian (misalnya separo) dari keseluruhan harta tersebut. Berakhirnya suatu perkawinan baik karena meninggal, perceraian maupun putusan hakim akan membawa konsekuensi pecahnya harta bersama. Masing-masing pihak akan menerima bagian menurut kesepakatan atau hukum yang berlaku.

Dalam Hukum Adat di Jawa Barat pada umumnya, masing-masing akan menerima separo dari harta campur kaya (50 : 50). Apabila salah satu pasangan meninggal, ia tidak meninggalkan seluruh harta campur kaya (100%). Sebab harta peninggalan pewaris hanya sebagian saja (misalnya 50%) dari seluruh harta campur kaya. Sedangkan sebagian lagi, adalah hak pasangan yang masih hidup dalam kedudukan sebagai pemegang sebagian hak atas harta campur kaya. Jadi, dalam hal ini sebenarnya pasangan yang masih

hidup tidak atau belum menerima warisan dari suami/isteri yang meninggal itu. Kalau pasangan yang masih hidup itu dipandang sebagai ahli waris suami/isteri atau setidak-tidaknya berhak atas harta peninggalan suami/isteri, hak itu adalah atas harta guna kaya yang menjadi hak suami (50% ). Secara konkrit, konstruksi di atas akan nampak sebagai berikut :

a) Kalau salah satu pasangan meninggal, maka pertama-tama diadakan pembagian harta campur kaya. Pasangan yang masih hidup akan menerima bagian sebagai pemilik atas sebagian harta campur kaya;

b) Setelah pasangan yang masih hidup menerima bagian tersebut huruf (a) di atas, sisa pembagian itu yang merupakan hak pasangan yang meninggal adalah harta peninggalan (warisan) dari yang meninggal;

c) Dalam bagian yang menjadi hak yang meninggal baru dapat dikatakan isteri/suami yang masih hidup mempunyai hak/tidak atas harta peninggalan suami/isteri;

d) Kalau suami/isteri yang masih hidup menyatakan berhak atas harta peninggalan harta guna kaya yang menjadi bagian dari pasangan yang meninggal, berarti pasangan yang masih hidup akan menerima lebih besar dari para ahli waris lain atas keseluruhan harta campur kaya itu. Oleh karena selain menerima bagian yang menjadi haknya sebagai pemilik bersama harta campur kaya, akan menerima juga bagian harta guna kaya yang menjadi hak pasangan yang meninggal (pewaris). Dan dalam proses inilah sesungguhnya kedudukan janda sebagai ahli waris atau bukan ahli waris.

e) Kalau suami/isteri yang masih hidup menyatakan hanya berhak atas sebagian dari seluruh harta campur kaya (misalnya 50%), maka sesungguhnya dia bukan ahli waris atau dia sesunguhnya tidak berhak atas harta campur kaya peninggalan suami/isteri yang meninggal. Karena apa yang diterima dari harta campur kaya itu bukan karena kedudukannya sebagai janda atau ahli waris, tetapi semata-mata karena dia adalah pemilik atau pemegang hak atas sebagian dari harta campur kaya.

Dari yurisprudensi di atas, pengertian janda tidak terbatas pada janda perempuan melainkan juga berlaku pula bagi janda/laki-laki atau lazim dikenal dengan sebutan duda. Hal ini didasarkan kepada salah satu asas pokok dalam hukum kekeluargaan adat yaitu kesederajatan antara suami dan isteri.

4. Hutang Pewaris

Para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi hutang-hutang pewaris. Pada tahap pertama, hutang-hutang pewaris dilunasi dengan harta peninggalannya. Karena itu, harta peninggalan pewaris baru akan dibagi setelah semua hutang-hutang tersebut dilunasi. Biaya penguburan merupakan salah satu hutang yang harus diutamakan pelunasannya. Di desa Gununghalu Kabupaten Bandung, Banjar,

Ciamis, dan Cikoneng apabila harta peninggalan pewaris tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka hibah yang telah diberikan ketika pewaris masih hidup dapat ditarik kembali untuk melunasi hutang-hutangnya. Sedangkan di desa-desa Sukamah dan Langensari (keduanya di Kabupaten Bandung), Cianjur, dan Kawali, hibah yang telah diberikan tidak dapat ditolak kembali untuk melunasi hutang-hutang pewaris.

5. Mengesampingkan ahli waris

Kecuali dalam kehilangan hak untuk mewaris (lihat tentang ahli waris), baik oleh pewaris maupun oleh sebagian ahli waris. Apabila hal ini terjadi, ahli waris yang bersangkutan dapat menuntut dipulihkan hak-haknya sebagai ahli waris (lihat yurisprudensi tentang ahli waris).

BAB III

ANALISASI KASUS

A. Penyelesaian Kasus Warisan Di Tingkat Gampong Yang Berada Di Aceh

Kasus waris yang berada di gompang aceh menjadi perbincangan public. Kasus ini belawal dari musibah gempa dan tsunami yang terjadi 2004. Hal ini menimbulkan suatu persoalan-persoalan seperti perkelahian dan persoalan waris ikut serta dalam masalah ini. Masyarakat gompang aceh dalam menyelesaikan kasus waris jarang sekali menggunakan lembaga hukum formal. Karena penyelesaian sengketa adat lebih memiliki daya tarik tersendiri yang ditimbulkan dari keserasian dengan system social dan budaya masyarakat aceh. Disamping itu juga proses penerapan hukum sanksi adat terhadap sengketa dan pelanggaran adat bersifat tegas dan menyangkut kepentingan public secara luas. Sifat ini menandakan bahwa hukum adat sangat fleksibel dan tidak sebagaimana halnya hukum formal.

Pembahasan persoalan warisan biasanya dilakukan di balai gampong, kantor Geuchik, ataupun meunasah ampong setempat. Menurut Geuchik Baharuddin, biasanya pihak keluarga yang ingin menyelesaikan persoalan warisan menyerahkan sepenuhnya upaya penyelesaian pada tim musyawarah gampong ini, terutama pada imuem gampong. Persoalan warisan ini tentunya diselesaikan sesuai aturan agama Islam. Pembagian warisan boleh saja didasarkan pada keinginan sang ahli waris, namun untuk tahap pertama, pembagian warisan tetap didasarkan dengan aturan agama Islam. Walaupun demikian, jika sesudahnya ada pihak-pihak yang ingin membagi lagi haknya kepada ahli waris lainnya,hal itu akan diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga. Ada pula penyelesaian kasus warisan dimana harta warisan pada akhirnya dikuasai dan dimanfaatkan untuk gampong. Hal ini bisa saja terjadi, sebut Geuchik Baharuddin, jika semua ahli waris sudah tidak ada dan dengan dikuatkan dengan pernyataan para saksi. Harta warisan yang dikuasai oleh gampong tersebut kemudian dijadikan harta gampong, untuk dimanfaatkan bersama.

Keputusan-keputusan ini selalu diambil dalam musyawarah gampong, yang melibatkan seluruh unsure pemerintahan gampong dan tokoh agama serta tokoh adat, yang tergabung dalam tuha peut. Dengan demikian jarang sekali penyelesaian masalah warisan ini berujung di pengadilan. Walaupun sengketa yang menyangkut

B. Harta Peninggalan Warisan Orang Yang Beristri Dua

Putusan-putusan pengadilan

Pengadilan Negeri Dompu :

1. Dalam putusannya, harta Peninggalan alm A. Bakar , dibagi dua bagian yang sama rata dengan perincian yaitu :

a. Hadijah Alm, istri pertama ( A. Bakar Alm ) memperoleh setengah bagian dan bagian ini adalah hak anak – anaknya ( Tergugat );

b. A. Bakar alm memperoleh setengah bagian dan bagian ini meruakan hak dari Mariyam, istri kedua dan anak – anaknya ( Penggugat ).

2. Dalam melakukan pembagian harta warisan ini, harus diutamakan fungsi musyawarah dan kerukunan dalam keluarga mengingat tujuan warisan adalah untuk kelanjutan hidup para ahli warisnya.

3. Adalah Adil, bila bagian yang sudah diterima diperhitugkan dalam pembagia harta warisan ini.

Pengadilan Tinggi Mataram :

1. Dalam putusannya memperbaiki putusan Hakim Pertama dengan memutuskan bahwa Harta Peninggalan A. Bakar alm harus dibagi menjadi 7 ( tujuh ) bagian yang sama rata, yaitu :

a. Penggugat memperoleh 4 bagian;

b. Tergugat memperoleh 3 bagian.

Mahkamah Agung RI :

1. Dalam putusan kasasinya telah membatalkan putusan jutex facti, karena dinilai telah salah menerapkan hukum dengan memberikan putusan sendiri, yang enyatakan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima, dengan pertimbangan hukum yang pada intinya :

a. Bahwa yang digugat oleh Panggugat dalam kasusu ini adalah harta gono-gini A. Bakar dengan istrinya yang pertama ( Hadijah Alm );

b. Bahwa menurut hukum adat, Penggugat sebagai istri kedua tidak mempunyai hak atas harta gono-gini anatara suaminya dengan istri pertama, karena harta gono-gini tersebit merupakan hak dari istri pertama dengan anak – anaknya.

Analisis

Dalam system parental, dimana anak – anak adalah ahli waris dan ibunya adalah janda dari almarhum bahwa anak – anaknya dan ibu mendapat bagian yang sama rata atas harta warisan yang ditinggalkan oleh Almarhum.

Dan dikarenakan alm A. Bakar menikah lagi dan meninggalkan anak sah dari pernikahannya itu, maka harta peninggalan campur kaya yang dikuasai Janda yang pertama tidak dibagikan kepada istri kedua dan anak – anaknya karena harta tersebut milik harta gono–gini suaminya dengan istri pertama dan anak – anak dari istri pertama yang sah itu dengan yang mendapat harta campur kaya yang sama rata dengan ibunya tetapi karena Hadijah telah meninggal dunia hak itu tetap jtuh kepada anak – anaknya.

BAB IV

KESIMPULAN

Jadi hukum waris yang berada di Indonesia sangat beraneka ragam. Dalam menyelesaikan kasus waris yang berada di Indonesia apabila tidak dapat diselesaikan dengan hukum perdata dan islam maka hukum adat yurispudensi dapat menjadi rujukan dalam menyelesaikan masalah waris. Namun ada juga wilayah yang lebih memilih menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan kasus warisnya dari pada mengginakan hukum yang perdata yang di Indonesia.

Pada kenyataanya kasus waris yang terjadi di gampong lebih menggunakan hukum adat yang berlaku karna sanksinya lebih tegas dan menyangkut kepentingan public. Mereka lebih memilih menyelesaikannya secara adat daripada penyelesaiannya secara formal yang melalui pengadilan.

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman, HukumWaris Adat. Bandung: Alumni, 1980.

PRODJODIKORO. Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Vorkink. Van Hoeve, TT.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung, Rineka cipta, 2005.

http//www.indoskripsi.com/tugashukumwarisadat.

LAMPIRAN

Comments

  1. semoaga tulisan ini bisa bermanfaat bagi saya, makasih atas tulian ini!!!!!!1

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sejarah Hukum Internasional

PENGERTIAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)